Rabu, 20 November 2013

kumpulan review jurnal tentang sintesis gas hidrogen dan membran feull cell


SINTESIS GAS HIDROGEN DARI PROSES ELEKTROLISIS DAN GASIFIKAS BIOMASA

Anisa Winarni 1112096000032
Mahasiswi Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412


 

Abstrak
Hidrogen adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Hidrogen atau H2 mempunyai kandungan energi per satuan berat tertinggi, dibandingkan dengan bahan bakar manapun. Hidrogen merupakan unsur yang sangat aktif secara kimia, sehingga jarang sekali ditemukan dalam bentuk bebas. Di alam, hidrogen terdapat dalam bentuk senyawa dengan unsur lain, seperti dengan oksigen dalam air atau dengan karbon dalam metana. Sehingga untuk dapat memanfaatkanya, hidrogen harus dipisahkan terlebih dahulu dari senyawanya agar dapat digunakan sebagai bahan bakar. Ada beberapa metode pembuatan gas hidrogen yang telah kita kenal. Namun semua metode pembuatan tersebut prinsipnya sama, yaitu memisahkan hidrogen dari unsur lain dalam senyawanya. Tiap-tiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Tetapi secara umum parameter yang dapat dipertimbangkan dalam memilih metode pembuatan H2 adalah biaya, emisi yang dihasilkan, kelaikan secara ekonomi, skala produksi dan bahan baku
abstarck
Hydrogen is a gas that is colorless, odorless and tasteless. Hydrogen or H2 has an energy content per unit weight of the highest, compared with any fuel. Hydrogen is an element that is very active chemically, so rarely found in the free form. In nature, hydrogen is present in the form of compounds with other elements, such as the oxygen in the water or the carbon in methane. So as to be able memanfaatkanya, hydrogen must first be separated from their compounds to be used as fuel. There are several methods of making hydrogen gas that we know. However, all methods of making the same principle, namely separating hydrogen from other elements in the compound. Each method has advantages and disadvantages of each. But in general the parameters that can be considered in choosing a method of making H2 is the cost, the resulting emissions, economic feasibility, scale of production and raw materials.

1.      Pendahuluan

Minat pada produksi gas hidrogen untuk sel bahan bakar terus meningkat, yang dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya pencemaran lingkungan akibat penggunaan secara langsung bahan bakar fosil, dan tingginya harga minyak bumi. Ketika digunakan sebagai sumber energi, hidrogen tidak menghasilkan polutan seperti CO, CO2, SO2 dan NOx. Tentu saja, suatu hidrokarbon masih diperlukan untuk menghasilkan hidrogen, tetapi sel bahan bakar memiliki efisiensi energi yang lebih baik dan dapat mengurangi lepasnya gas rumah kaca dibandingkan dengan pembakaran langsung hidrokarbon. Hidrogen diperkirakan membentuk komposisi lebih dari 90% atom-atom di alam semesta (sama dengan tiga perempat massa alam semesta). Unsur ini ditemukan di bintang-bintang dan memainkan peranan yang penting dalammemberikan sumber energi jagat raya melalui reaksi proton-proton dan sikluskarbon-nitrogen. Proses fusi atom-atom hidrogen menjadi helium di matahari menghasilkan jumlah energi yang sangat besar . Walaupun hidrogen adalah benda gas, kita sangat jarang menemukannyadi atmosfer bumi. Gas hidrogen yang sangat ringan, jika terkombinasi denganunsur lain, akan berbenturan dengan unsur lain dan terkeluarkan dari lapisanatmosfer. Di bumi, hidrogen banyak ditemukan sebagai senyawa (air) di manaatom-atomnya bertaut dengan atom-atom oksigen. Atom-atom hidrogen jugadapat ditemukan pada tumbuhan, petroleum, arang dan lain-lain. Sebagai unsur yang independen.
Kegunaan hydrogen :
1.      Untuk mengikat nitrogen dengan unsur yang lain dalam proses Haber (memproduksi amonia) dan untuk proses hidrogenasi lemak dan minyak.2.
2. Digunakan dalam jumlah yang banyak dalam produksi metanol didealkilasihidrogen (hydrodealkylation), katalis hydrocracking, dan sulfurisasi hidrogen.3. 
3.    Sebagai bahan bakar roket, hidrogen merupakan elemen yang sangat mudahterbakar dan sudah lama digunakan sebagai bahan bakar roket, meskipun bisa juga digunakan sebagai bahan bakar kendaraan lainnya, seperti mobil, sepedamotor dan lain-lain
4.      Memproduksi asam hidroklorida
5.      Mereduksi biji-biji besi.
6.      Sebagai gas pengisi balon,
7.     Sebagai bahan hidrogenasi, terutama dalam peningkatan kejenuhan dalamlemak tak jenuh dan minyak nabati (ditemukan di margarin), dan dalam produksi metanol
8.  Digunakan sebagai pendingin motor pada generator pembangkit listrik karena mempunyai konduktivitas termal yang paling tinggi di antara semua jenis gas
9.      Untuk memproses bahan bakar fosil dan memproduksi ammonia

2.      Gas hydrogen dari elektrolisis

Elektrolisis air adalah penguraian air (H2O) menjadi oksigen (O2) dan hidrogen (H2) dengan cara pengaliran arus listrik melalui katoda dan anoda yang tercelup di dalam air. Hidrogen akan muncul di katoda, yaitu elektroda yang terhubung ke arus negatif, dan oksigen di anoda, yaitu elektroda yang. terhubung ke arus positip. Jumlah gas hidrogen yang diperoleh sebanyak 2 kali gas oksigennya, dan jumlah keduanya proporsional dengan energi listrik yang digunakan. Elektrolisis air murni berlangsung sangat lambat. Hal ini karena konduktivitas listrik air murni sangat rendah, yaitu sekitar 1/1.000.000 dari konduktivitas listrik air laut. Kecepatan elektrolisis air menjadi hidrogen dan oksigen dapat ditingkatkan secara nyata dengan penambahan zat-zat elektrolit yang berupa garam, asam, atau basa. Jika zat elektrolit ditambahkan ke dalam air, maka konduktivitas listrik larutan elektrolit tersebut meningkat dengan tajam. Garam natrium dan lithium sering digunakan dalam proses elektrolisis air karena harganya relatif murah dan mudah larut dalam air. Pada elektrolisis air banyak energi yang hilang sebagai panas, sehingga tidak dapat mengubah 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen. Pada proses ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi kimia hidrogen tanpa memperhitungkan kehilangan energi pada pembangkitan listrik adalah 50 s.d. 70%. Jika hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis air menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi totalnya 30 s.d. 45%. Dalam metode elektrolisis ini senyawa yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH) dengan menggunakan sebuah alat yaitu tabung electrolizer yang tersususn dari bahan mika (plastic), elektroda 10 buah dimana terbuat dari bahan stainless, kabel dan power supply DC.  Larutan KOH merupakan senyawa larutan kimia dengan melarutkan KOH ke dalam air. reaksi kimia yang terjadi pada larutan tersebut adalah sebaga berikut
2 KOH + 2 H2O     K2 + 3 H2 + 2 O2
Reaks kimia tersebut menunjukan jika 2 bagian KOH dilarutkan ke dalam 2 bagian air maka akan dihasilkan 1 bagian K2 yang berupa padatan akan tetap bertahan di dalam larutan, sedangkan  3 bagian H2 dan 2 bagian O2 akan keluar menguap ke udara. Gas hydrogen inilah yang kemudian ditampung dan dijadikan bahan bakar alternative masa depan.  Proses elektrolisis dalam hal ini terjadi karena adanya kutub anoda dan katoda yang saling berhadapan. Jika melihat susunan katoda dan anoda pada tabung elektrolizer peneliti memperkirakan peluang terjadinya elektroliss sebanyak 13 buah kutub yang saling berhadapan dan disusun secara parallel, apabila tidak disusun secara paralele peneliti memperkirakan terjadinya elektrolisis hanya terjadi pada 5 buah kutub saja yang saling berhadapan. Karena menurut peneliti semakin banyak kutub yang saling berhadapan antara katoda dan anaoda maka semakin banyak gas yang dihasilkan. Konsentrasi larutan KOH yang semakin pekat akan membuat besarnya hambatan listrik pada latrutan akan semakin kecil dan akan mendekati nol. Besarnya arus sangat mempengaruhi proses terjadinya elektrolisis. Semakin besra arus yang diberikan maka akan semakin cepat menculnya gelembung – gelembung di permukaan elektroda. Ini berarti produktifiotas gas hydrogen akan semakin cepat dan mudah. Terbukti dari data di bawah ini.

Table 1. debit volume gas H2
Konsentrasi larutan KOH
Arus DC
(Ampere)
Debit volume H2 (ml)
5,33 %
4
47,226
5
59,268
6
76,128
4,57 %
4
43,992
5
54,516
6
71,076
4 %
4
41.412
5
50,826
6
63,42

3.55 %
4
39,336
5
46,974
6
58,584
3,2 %
4
37,302
5
44,49
6
53,928


Dari data table 1 produktifitas H2 diatas, menunjukan produktifitas H2 terdapat pada titik maksimum produksi dan titik minimum produksi. Untuk titik produktifitas maksimum terjadi pada saat konsentrasi larutan KOH 5,33% denga arus 6 A, sedangkan titik minimum terjadi pada saat konsentrasi larutan 3,2% dengan arus 4 A.

3.      Gas hydrogen dari gasifikasi massa

Gasifikasi adalah reaksi oksidasi biomassa dengan jumlah oksigen terbatas dan hasilnya merupakan bahan bakar gas. Dalam kondisi tertentu, jumlah oksigen dibatasi kurang dari 40% jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran sempurna, dan hasil utamanya adalah CO dan H2, pada gas hasil gasifikasi biomassa terdapat pula CO2, CH4, dan senyawa lainnya. Proporsi relatif dari masing-masing komponen dalam syngas tergantung pada kondisi operasi gasifikasi, yaitu temperatur, tekanan, jenis biomassa, dll, dan di antara mereka, agen gasifikasi disebutkan dalam literatur sebagai yang paling berpengaruh. Teknologi gasifikasi biomassa yang berbeda termasuk yang menggunakan udara., uap atau campuran uap O2 merupakan bahan paling utama dalam proses gasifikasi biomassa. Dalam proses gasifikasi kandungan hidrogen dalam sintetis gas dapat mencapai nilai berkisar dari 35% hingga 45% vol. Selanjutnya peningkatan kadar hidrogen dalam gas produk diperlukan penyesuaian rasio H2/CO engan menggunkan proses reaksi Water Gas Shift (WGS) yang memungkinkan konversi CO menjadi CO2 dan H7 dalam uap dengan reaksi seperti di bawah :
CO + H2O → H2 + CO2
Penggunaan katalis WGS dilakukan pada suhu ultra-tinggi yang dapat digabungkan dengan gasifikasi biomassa [atau penggunaan reaktor membran untuk meningkatkan konversi CO tanpa menggunakan katalis. Pendekatan teknologi dengan menggabungkan. keuntungannya. Salah satunya adalah menggunakan WGS tahap kedua pada suhu yang lebih rendah. Hal ini karena pemisahan in-situ dari salah satu produk (dalam hal ini H2) dengan membran akan mengakibatkan hasil H2 yang tinggi pada suhu tinggi sehingga reaksi WGS akan dilakukan dalam satu tahap yang beroperasi di rentang suhu katalis yang dipilih. keuntungan lain adalah bahwa kelebihan uap tidak akan diperlukan untuk mendukung konversi CO yang lebih tinggi meskipun masih mungkin diperlukan untuk mencegah karbon dan/atau pembentukan metana.
Dalam penelitian ini peneliti menggnakan katalis yang sudah dalam tahap aktif yaitu magnetit (Fe3O4), sehingga tidak memerlukan langkah pra-reduksi. Penelitian ini menggunakan dilakukan dalam reaktor mikro tubular SS dengan dasar tetap (ID panjang 9 mm x 220 mm) disimpan di tanur listrik zona tunggal. Metode isotermal, yang mencakup isolasi kolom untuk memberikan pemisahan lengkap dari komponen gas yang berbeda disiapkan untuk menganalisis H2, CH4, CO2, N2 dan CO.

      3.1   Pengukuran aktivitas dan prosedur percobaan

Setiap suhu kerja yang dicapai dalam reaktor dengan menggunakan aliran N2 dan ketika kondisi stasioner mampu mencapai instalasi yang siap untuk memulai pengujian. Komposisi umpan (feed) ditentukan pada masing-masing tes yang melewati reaktor dan menjalankan metode analisis untuk gas umpan kering. Kemudian, campuran gas didorong melalui reaktor dan pompa dinyalakan untuk memberikan laju aliran yang diinginkan. Sebagai hasil reaksi WGS, gas keluar menjadi lebih kaya hidrogen dan karbon dioksida sedangkan karbon monoksida awal dikonsumsi.

3.2   Pengaruh komposisi gas umpan

Aliran gas yang diberikan ke sistem WGS biasanya berasal dari langkah proses sebelumnya dan terdiri dari senyawa yang berbeda tergantung pada proses yang dipertimbangkan. Serangkaian tes pertama dilakukan untuk mempelajari kesesuaian katalis untuk komposisi gas umpan diharapkan pada inlet reaktor WGS di plant Varnamo. Komposisi khas dalam gasifikasi biomassa terdiri dari campuran H2, CO, CO2, CH4 dan adanya masing-masing relatif sangat tergantung pada kondisi operasi proses. Dalam penelitian ini secara industri digunakan aliran hidrogen (kandungan hidrogen lebih tinggi dari 70% v/v) dan dengan kadar karbon monoksida lebih rendah daripada yang berasal dari gasifikasi biomassa oksigen, di mana kandungan CO berkisar dari 40% sampai 60 % v/v dan kandungan H2 berkisar dari 35% hingga 45% v/v.

       3.3   Pengukuran kadar hidrogen

Dimana suhu proses berada pada kisaran 250 °C hingga 500 °C dan kecepatan ruang berkisar dari 2885 h-1 sampai 25.000 h-1. Kecepatan ruang diperkirakan sebagai rasio laju aliran (basis basah) pada kondisi standar untuk volume katalis.

Tabel 2. Pengukuran kadar gas hydrogen pada gas keluar
Suhu (oC)
SV = 2885 h -1
SV = 10.000 h -1
SV = 25.000 h -1
300
48,81
42,65
39,97
350
54,66
51,17
41,85
380
55,46
55,31

410

57,22

425
55,05

48,19
440

57,6

470
57,50

49,43
500


50,07


Mengenai produksi hidrogen Tabel 2 merangkum hasil yang diperoleh Kandungan H2 maksimum diukur dalam gas keluar yang berkisar antara 50,1% v/v dan 57,6% v/v basis kering yang memberikan peningkatan kandungan H2 dalam gas sebesar 10-17% v/v. volume gas hydrogen terbesar maksimum terjadi pada suhu 440 0C dengan kecepatan ruang 10.000 h-1 sedangkan volume gas hydrogen minimum terjadi pada suhu 350 0C dengan kecepatan ruang 25.000 h-1.

4.      Kesimpulan

Dalam perbandingan metode sintesis hydrogen dengan menggunakan proses elektrolisis dengan gasifikasi masa didapatkan kesimpulan bahwa proses yang paling baik dalam pembuatan gas hydrogen apabila dilihat dari jumlah gas hydrogen yang dihasilkan adalah pembuatan gas hydrogen dengan menggunkan metode elektrolisis larutan KOH karena gas hydrogen yang dihasilkan sekitar 76% sedangkan pada proses gasifikasi biomasa hanya 57,6% gas hydrogen yang dihasilkan. Namun  jika dilihat pada elektrolisis air banyak energi yang hilang sebagai panas, sehingga tidak dapat mengubah 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen. Pada proses ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi kimia hidrogen tanpa memperhitungkan kehilangan energi pada pembangkitan listrik adalah 50 s.d. 70%. Jika hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis air menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi totalnya 30 s.d. 45%. Sehingga metode gasifikasi masa lebih efisien digunakan.

Referensi

Anonim, 2009, “Energi Gelombang Laut: Selama Ada Ombak,
Energi Akan Didapat,” http://www.esdm.go.id/news-archives/
56-artikel/2585-energi-gelombang-laut-,
21 0ktober 2013
Anonim, 2009e, “Electrolysis of Water,” http://en.wikipedia.org/wiki/
electrolysis_ of_water, 21 oktober 2013



 
HIDROLISIS ENZIMATIK DARI JERAMI PADI UNTUK PRODUKSI HIDROGEN MENGGUNAKAN SELULASE CAMPURAN

Khilda Nurlaila 1112096000035
Mahasiswi Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412


 

Abstract

The objective of this work is to compare the effectiveness of commercial enzyme with mixed crude enzyme from Trichoderma reesei and Aspergillus niger. The work is divided into two steps, the first is cellulase productions from rice and corn straw, and the second is enzymatic hydrolysis. Two activity unit of cellulase from Trichoderma reesei and one unit of cellulase from A. niger were mixed. Enzymes were prepared by solid fermentation. Five grams of 100 mesh rice straw were mixed with 25 mL nutrient solution containing (all in g/L except CMC) 1,4 (NH4)2SO4, 2 KH2PO4, 0,005 FeSO4, 0,5 ekstrak ragi, 1,5 pepton and 5 mL 1% CMC solution. T. reesei dan A. niger were inoculated and then iccubated for 4, 6 and 8 days. Before hydrolized, the rice straw is grinded and sieved to 80 – 100 and 120 – 140 mesh then heated at 85 oC with 2% sodium hydroxide for six hours. Hydrolyses was conducted in 300 mL beaker glass equipped by mechanical stirrer. Samples were analyzed by dinitrocalycilic acid and measured by spectrophotometer.

According to the study of enzyme production, it can be concluded that cellulases enzyme activity of rice straw is higher than corn straw, either using T. reesei strain or A. niger. The quality of T. reesei cellulase of rice straw is as good as A. niger cellulase of straw. After being incubated for four days with rice straw substrate, T. reesei gives higher enzyme productivity than A. niger.

Based on the study of hydrolysis, it can be concluded that the higher the enzyme ratio to substrate was, the higher the glucose concentration obtained, but enzyme eficiency become smaller. Enzyme from T. reesesi dan A. niger that produced from mixture of Trichoderma reesei and Aspergillus niger with a ratio of 2 : 1 (unit/unit) was more effective to hydrolyze rice straw than using cellulose enzyme of Aspergillus niger from Fluka Biochemika production.

Keywords: cellulase, Trichoderma reesei, Aspergillus niger, rice straw, mixed enzymes, hydrolysis
 
Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk  membandingkan efektifitas enzim komersial dengan enzim kasar campuran dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger. Karya ini dibagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah selulase produksi dari beras dan jerami jagung, dan yang kedua adalah hidrolisis enzimatik. Dua Unit aktivitas enzim selulase dari Trichoderma reesei dan satu unit selulase dari A. niger dicampur. Enzim disiapkan oleh fermentasi padat. Lima gram 100 mesh jerami padi dicampur dengan 25 mL larutan nutrisi mengandung (semua dalam g / L kecuali CMC) 1,4 (NH4)2SO4 , 2 KH2PO4 , 0,005 FeSO4 , 0,5 Ekstrak ragi , 1,5 pepton dan 5 mL larutan CMC 1 % . T. reesei Dan A. niger diinokulasi dan kemudian iccubated untuk 4, 6 dan 8 hari. Sebelum hydrolized, jerami padi yang digiling dan disaring untuk 80-100 dan 120-140 jala kemudian dipanaskan pada 85 oC dengan 2 % Natrium hidroksida selama enam jam. Hidrolisis dilakukan dalam 300 mL beaker glass dilengkapi dengan pengaduk mekanis. Sampel dianalisis dengan asam dinitrocalycilic dan diukur dengan spektrofotometer.

Menurut penelitian produksi enzim, dapat disimpulkan bahwa aktivitas enzim selulase dari jerami padi lebih tinggi dari jerami jagung, baik menggunakan T. reesei regangan atau A. niger. Kualitas T. reesei selulase dari jerami padi sebaik selulase A. niger dari jerami. Setelah diinkubasi selama empat hari dengan substrat jerami padi, T. reesei memberikan produktivitas enzim yang lebih tinggi dari A. niger.

Berdasarkan studi hidrolisis, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi rasio enzim untuk substrat adalah, semakin tinggi konsentrasi glukosa yang diperoleh, tapi enzim efisiensi menjadi lebih kecil. Enzim dari T. reesesi Dan A. niger yang dihasilkan dari campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan perbandingan 2: 1 (unit / unit) lebih efektif untuk menghidrolisis jerami padi daripada menggunakan enzim selulosa Aspergillus niger dari Fluka produksi Biochemika.

Kata kunci: selulase , Trichoderma reesei , Aspergillus niger , jerami padi, enzim campuran, hidrolisis.

1.      PENDAHULUAN

Kebutuhan energi untuk menunjang kehidupan manusia meningkat terus secara eksponensial (Antonopoulou dkk., 2007), sementara persediaan bahan bakar fosil yang sampai saat ini merupakan sumber utama energi semakin menurun. Penggunaan bahan bakar fosil juga telah menurunkan kualitas lingkungan, oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif, salah satunya yang potensial adalah biohidrogen karena kandungan energinya tinggi, hampir tiga kali gasolin (Bossel, 2003). Pembakaran hidrogen juga hanya menghasilkan uap air sehingga hidrogen merupakan sumber energi yang ramah lingkungan (Ogino dkk., 2005). Hidrogen dapat diproduksi melalui sintesa kimia maupun secara biologis. Produksi hidrogen secara biologismemiliki kelebihan dibandingkan dengan sintesa kimia, karena  dapat dilangsungkan pada suhu dan tekanan rendah sehingga lebih menguntungkan ditinjau dari sisi penggunaan energi.

Biohidrogen dapat diproduksi dari glukosa dengan perolehan berkisar 1,36 – 3,02 mol H2/mol glukosa (Pallazi dkk.,2000; Chin dkk., 2003; Marimoto dkk., 2004; Ogino dkk., 2005; Kotay dkk., 2006; Zhang dkk., 2006), dari sukrosa dengan perolehan 1,3 – 4,8 mol H2/mol sukrosa yang setara 0,65 – 2,4 mol H2/mol glukosa (Sung dkk., 2002; Lin dan Lay, 2004; Ogino dkk., 2005), dari pati ubi kayu dengan perolehan 1,1 – 1,5 mol H2/mol heksosa (Mahakhan dkk., 2005; Lin dkk., 2008). Perolehan biohidrogen tertinggi dari glukosa murni sekitar 75 % perolehan teoritis, akan tetapi masih belum fisibel secara komersial karena harga bahan baku glukosa murni yang tinggi (Kapdan dan Kargi, 2006). Upaya meningkatkan fisibilitas ekonomi biohidrogen dimungkinkan dengan penggunaan bahan baku limbah yang dapat dikonversi menjadi glukosa, baik limbah cair (Reungsang dkk., 2004) maupun limbah padat (Raghavendra dkk., 2007). Salah satu limbah di Indonesia yang ketersediaannya melimpah adalah jerami padi yaitu 180 juta ton/tahun (Sabiham dan Mulyanto, 2005).

Jerami padi adalah limbah yang mengandung 37,7% selulosa; 22,0% hemiselulosa; 16,6% lignin (Dewi, 2002). Selulosa dalam jerami padi dapat dihidrolisis menghasilkan glukosa baik secara kimiawi (Xiang dkk., 2003), secara enzimatis (Dewi, 2002; de Vrije dkk., 2002; Raghavendra dkk., 2007) maupun fermentatif (Aderemi dkk., 2008). Hidrolisis enzimatik lebih menarik dari sisi penggunaan energi, karena dapat dilangsungkan pada temperatur rendah (de Vrije dkk., 2002) sedangkan hidrolisis kimiawi memerlukan temperatur tinggi (Xiang dkk., 2003). Hidrolisis enzimatis juga dapat menghasilkan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis fermentatif (Aderimi dkk., 2008), akan tetapi reaksi enzimatik memerlukan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mempercepat reaksi diantaranya dengan cara memperbesar rasio enzim dengan substrat.

Uraian di atas menunjukkan kemungkinkan memproduksi biohidrogen dari jerami padi melalui dua tahap proses terpisah yaitu hidrolisis enzimatik jerami padi menjadi glukosa yang dilanjutkan dengan fermentasi glukosa menjadi hidrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai kondisi operasi (temperatur, konsentrasi awal enzim, pH dan laju pengadukan) serta membandingkan efektivitas enzim selulase yang dibuat pada penelitian ini dengan selulase komersial.

2.      Jerami Padi

Jerami padi terdiri 37,7% selulosa, 22,0% hemiselulosa dan 16,6% lignin (Dewi, 2002) dengan kandungan nutrisi dalam basis kering 0,5 – 0,8% N; 0,16 – 0,27% P2O5; 1,4 – 2% K2O; 0,05 – 0,1% S dan 4 – 7% Si (Dobermann dan Fairhurst, 2002). Selulosa berfungsi sebagai penguat pada batang tumbuhan, lignin untuk melindungi selulosa dari aksi kimiawi maupun biologis sedangkan hemiselulosa pengikat selulosa dengan lignin (Lee, 1992). Selulosa berupa polimer glukosa linier hidrofilik yang dihubungkan oleh ikatan glikosida. Banyaknya satuan glukosa dapat bervariasi antara 15 sampai lebih dari 10.000 per molekul selulosa. Polimer selulosa terdiri dari bagian kristalin dan amorf. Bagian amorf mudah dihidrolisis sedangkan bagian kristalin tidak mudah dihidrolisis baik secara kimiawi maupun enzimatik (Dahot dan Noomrio, 1996). Hemiselulosa adalah gabungan dari polimer-polimer dengan rantai relatif lebih pendek dan bercabang, yang terdiri dari monomer xylosa, arabinosa, glukosa, manosa dan galaktosa, dengan struktur amorf (Bailey dan Ollis, 1986). Meskipun dilindungi oleh lignin, jerami padi masih dapat dihidrolisis menjadi glukosa oleh mikroorganisma selulotik seperti Trichoderma ressei (Muthuvelayudham dan Viruthagiri, 2006) maupun Aspergillus niger (Aderemi dkk., 2008).

3.      Hidrolisis Selulosa Secara Enzimatik

Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan enzim selulase (Vrije dkk., 2002; Raghavendra dkk., 2007) maupun mikroorganisme penghasil selulase (Aderemi dkk., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran partikel. Jerami padi lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan serbuk gergaji maupun sabut sawit (Dewi, 2002). Raghavendra dkk. (2007) melaporkan bahwa diantara jerami padi, jerami gandum dan bagas tebu, yang paling mudah dihidrolisis adalah jerami gandum, diikuti bagas dan yang paling sulit dihidrolisis adalah jerami padi. Kesulitan hidrolisis substrat lignoselulosa karena adanya gangguan dari lignin yang menghambat kontak antara selulase dengan selulosa (Raghavendra dkk., 2007). Kesulitan tersebut dapat diperbaiki dengan cara melakukan pengolahan awal (Bak dkk., 2008; Vrije dkk., 2002; Dahot dan Noomrio, 1996).

4.      Pengaruh Rasio Enzim-Jerami Padi

Lama waktu hidrolisis berbanding lurus dengan konsentrasi gula. Semakin lama waktu hidrolisis maka semakin tinggi konsentrasi gula pada setiap diameter partikel jerami. Waktu hidrolisis maksimal dilakukan selama tujuh jam karena lebih dari itu terbentuk campuran yang sulit diendapkan sehingga pengambilan sampel menjadi sulit pula.





5.      Efisiensi Enzim



Efisiensi enzim yang dimakud di sini adalah jumlah glukosa yang dihasilkan persatuan aktivitas enzim yang digunakan (Cg/E). Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa efisiensi enzim tertinggi dihasilkan pada diameter partikel yang lebih kecil yaitu 120 – 140 mesh. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pada percobaan ini, efisiensi enzim berbanding terbalik dengan rasio enzim substrat. Makin besar rasio enzim substrat makin kecil efisiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah enzim yang digunakan tidak sebanding dengan jumlah glukosa yang dihasilkan. Efisiensi tertinggi dihasilkan pada hidrolisis dengan diameter partikel 120 – 140 mesh dan rasio aktivitas enzim 14 U/g jerami. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa laju produksi glukosa pada pada rasio enzim substrat 28 U/g, kurang lebih dua kali laju produksi glukosa pada 14 U/g. Hal ini berarti, jika kita menginginkan waktu hidrolisis yang lebih singkat, dapat dilakukan dengan meningkatkan rasio enzim substrat dengan diameter partikel 120 – 140 mesh.



6.      Pengaruh pH
Tabel 3
 
      

Glukosa yang dihasilkan ditujukan sebagai bahan baku produksi biohidrogen yang diperkirakan berlangsung optimum pada pH 6. Oleh karena itu hidrolisis yang paling baik menurut rencana penggunaan glukosanya adalah pH 6. Akan tetapi pada pH 6, konsentrasi glukosa yang dihasilkan sangat kecil, oleh karena itu dilakukan pengujian pengaruh pH di bawah 6. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa penurunan pH dari 5,52 sampai 3,92 dapat mempersingkat waktu hidrolisis dari 6 jam menjadi sekitar 3 jam karena laju pembentukan glukosa 3 jam pertama pada pH 3,92 lebih cepat dari pH 6 meskipun konsentrasi glukosa akhirnya hampir sama, sedangkan pada pH 4,75 tidak jauh berbeda dengan pada pH 5,52.


Gambar 3
 
 
KESIMPULAN
1.      Makin besar rasio enzim terhadap substrat, makin besar konsentrasi glukosa yang dihasilkan, tetapi efisiensi enzim menjadi lebih kecil. Peningkatan rasio enzim substrat dari 14 U/g sampai 28U/g meningkatkan konsontrasi glukosa yang dihasilkan selama 7 jam hidrolisis dari 1,748 g/L menjadi 3,222 g/L.
2.      Ukuran partikel jerami 120 – 140 mesh cukup optimum untuk dipilih pada hidrolisis jerami padi dan dapat meningkatkan konsentrasi glukosa sekitar 72%.
3.      Penurunan pH dari 5,52 sampai 3,92 dapat menurunkan waktu hidrolisis optimum dari 6 jam menjadi 3 jam.
4.      Makin besar rasio enzim-substrat, efisiensi enzim makin kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1.      B.O. Aderemi, B.O. , E. Abu, B. K. Highina, “The Kinetics of Glucose Production from Rice Straw by Aspergillus niger”, African Journal of Biotechnology Vol. 7 (11), pp. 1745-1752, June 2008.
2.      G. Antonopoulou, I. Ntaikou, H.N. Gavala, I.V. Skiadas, K.Angelopoulos, G. Lyberados, “Biohydrogen Production from Sweet Sorgum Biomass Using Mixed Acidogenic Cultures and Pure Cultures of Ruminococcus Albus”, Global NEST Journal, Vol 9, No 2, pp. 144-151, 2007.
3.      U. Bossel, U., “Well-to-Wheel Studies, Heating Values, and the Energy Conservation Principle”, European Fuel Cell Forum, 2003.
4.      H.L. Chin, H.L., Z.S. Chen, C. P. Chou “Fedbatch Operation Using Clostridium acetobutylicum Suspension Culture as Biocatalyst for Enhancing Hydrogen” Production, Biotechnol. Prog., Vol. 19, 383 – 388, 2003.
5.      H. Dewi, “Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik, Akta Agrosia”, Vol. 5, No. 2, pp. 67 – 71, 2002.
6.      T. Juhasz, K. Kozma, Z. Szengyel, K. Reczey, “Production of b-Glucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30”, Food Technol. Biotechnol. 41 (1), pp. 49–53, 2003.
7.      I.K. Kapdan, F. Kargi, “Bio-hydrogen Production from Waste Materials”, Enzyme and Microbial Technology 38, 569–582, 2006.
8.      S.M. Kotay, D. Das, “Microbial hydrogen production with Bacillus coagulans IIT-BT S1isolated from anaerobic sewage sludge”, Bioresource Technology, Elsevier, 2006.
9.      P. Mahakhan, C. Chobvijuk, M. Ngmjarearnwong, S. Trakulnalermsai, C. Bucke, J. Svasti, W. Kanlayakrit, L. Chitradon, “Molecular Hydrogen Production by a Thermotolerant Rubrivivax gelatinosus using Raw Cassava Starch as an Electron Donor”, Science Asia, Vol. 31, pp. 415 – 424, 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar