SINTESIS GAS HIDROGEN DARI PROSES ELEKTROLISIS DAN GASIFIKAS BIOMASA
Anisa Winarni 1112096000032
Mahasiswi Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412
Abstrak
Hidrogen adalah gas yang
tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Hidrogen atau H2
mempunyai kandungan energi per satuan berat tertinggi, dibandingkan dengan
bahan bakar manapun. Hidrogen merupakan unsur yang sangat aktif secara kimia,
sehingga jarang sekali ditemukan dalam bentuk bebas. Di alam, hidrogen terdapat
dalam bentuk senyawa dengan unsur lain, seperti dengan oksigen dalam air atau
dengan karbon dalam metana. Sehingga untuk dapat memanfaatkanya, hidrogen harus
dipisahkan terlebih dahulu dari senyawanya agar dapat digunakan sebagai bahan
bakar. Ada beberapa metode pembuatan gas hidrogen yang telah kita kenal. Namun
semua metode pembuatan tersebut prinsipnya sama, yaitu memisahkan hidrogen dari
unsur lain dalam senyawanya. Tiap-tiap metode memiliki keunggulan dan
kekurangan masing-masing. Tetapi secara umum parameter yang dapat
dipertimbangkan dalam memilih metode pembuatan H2 adalah biaya,
emisi yang dihasilkan, kelaikan secara ekonomi, skala produksi dan bahan baku
abstarck
Hydrogen is a gas that is colorless, odorless and tasteless. Hydrogen or H2 has an energy content per unit weight of the highest, compared with any fuel. Hydrogen is an element that is very active chemically, so rarely found in the free form. In nature, hydrogen is present in the form of compounds with other elements, such as the oxygen in the water or the carbon in methane. So as to be able memanfaatkanya, hydrogen must first be separated from their compounds to be used as fuel. There are several methods of making hydrogen gas that we know. However, all methods of making the same principle, namely separating hydrogen from other elements in the compound. Each method has advantages and disadvantages of each. But in general the parameters that can be considered in choosing a method of making H2 is the cost, the resulting emissions, economic feasibility, scale of production and raw materials.
1. Pendahuluan
Minat pada produksi gas hidrogen untuk sel
bahan bakar terus meningkat, yang dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya
pencemaran lingkungan akibat penggunaan secara langsung bahan bakar fosil, dan
tingginya harga minyak bumi. Ketika digunakan sebagai sumber energi, hidrogen
tidak menghasilkan polutan seperti CO, CO2, SO2 dan NOx. Tentu saja, suatu
hidrokarbon masih diperlukan untuk menghasilkan hidrogen, tetapi sel bahan
bakar memiliki efisiensi energi yang lebih baik dan dapat mengurangi lepasnya
gas rumah kaca dibandingkan dengan pembakaran langsung hidrokarbon. Hidrogen diperkirakan membentuk komposisi lebih dari 90% atom-atom di alam
semesta (sama dengan tiga perempat massa alam semesta). Unsur ini ditemukan di
bintang-bintang dan memainkan peranan yang penting dalammemberikan sumber
energi jagat raya melalui reaksi proton-proton dan sikluskarbon-nitrogen.
Proses fusi atom-atom hidrogen menjadi helium di matahari menghasilkan jumlah
energi yang sangat besar . Walaupun hidrogen adalah benda gas, kita sangat
jarang menemukannyadi atmosfer bumi. Gas hidrogen yang sangat ringan, jika
terkombinasi denganunsur lain, akan berbenturan dengan unsur lain dan
terkeluarkan dari lapisanatmosfer. Di bumi,
hidrogen banyak ditemukan sebagai senyawa (air) di manaatom-atomnya
bertaut dengan atom-atom oksigen. Atom-atom hidrogen jugadapat ditemukan pada
tumbuhan, petroleum, arang dan lain-lain. Sebagai unsur yang independen.
Kegunaan hydrogen :
1. Untuk mengikat nitrogen
dengan unsur yang lain dalam proses Haber (memproduksi amonia) dan untuk
proses hidrogenasi lemak dan minyak.2.
2. Digunakan dalam jumlah
yang banyak dalam produksi metanol didealkilasihidrogen (hydrodealkylation),
katalis hydrocracking, dan sulfurisasi hidrogen.3.
3. Sebagai bahan bakar roket,
hidrogen merupakan elemen yang sangat mudahterbakar dan sudah lama digunakan
sebagai bahan bakar roket, meskipun bisa juga digunakan sebagai bahan
bakar kendaraan lainnya, seperti mobil, sepedamotor dan lain-lain
4. Memproduksi asam
hidroklorida
5. Mereduksi biji-biji besi.
6. Sebagai gas pengisi balon,
7. Sebagai bahan hidrogenasi, terutama dalam
peningkatan kejenuhan dalamlemak tak jenuh dan minyak nabati (ditemukan di margarin),
dan dalam produksi metanol
8. Digunakan sebagai
pendingin motor pada generator pembangkit listrik karena mempunyai
konduktivitas termal yang paling tinggi di antara semua jenis gas
9. Untuk memproses bahan
bakar fosil dan memproduksi ammonia
2. Gas hydrogen dari elektrolisis
Elektrolisis air adalah penguraian air (H2O)
menjadi oksigen (O2) dan hidrogen (H2) dengan cara pengaliran arus listrik
melalui katoda dan anoda yang tercelup di dalam air. Hidrogen akan muncul di
katoda, yaitu elektroda yang terhubung ke arus negatif, dan oksigen di anoda,
yaitu elektroda yang. terhubung ke arus positip. Jumlah gas hidrogen yang
diperoleh sebanyak 2 kali gas oksigennya, dan jumlah keduanya proporsional
dengan energi listrik yang digunakan. Elektrolisis air murni berlangsung sangat
lambat. Hal ini karena konduktivitas listrik air murni sangat rendah, yaitu
sekitar 1/1.000.000 dari konduktivitas listrik air laut. Kecepatan elektrolisis
air menjadi hidrogen dan oksigen dapat ditingkatkan secara nyata dengan
penambahan zat-zat elektrolit yang berupa garam, asam, atau basa. Jika zat
elektrolit ditambahkan ke dalam air, maka konduktivitas listrik larutan
elektrolit tersebut meningkat dengan tajam. Garam natrium dan lithium sering
digunakan dalam proses elektrolisis air karena harganya relatif murah dan mudah
larut dalam air. Pada elektrolisis air banyak energi yang hilang sebagai panas,
sehingga tidak dapat mengubah 100% energi listrik menjadi energi kimia
hidrogen. Pada proses ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi
kimia hidrogen tanpa memperhitungkan kehilangan energi pada pembangkitan
listrik adalah 50 s.d. 70%. Jika hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis
air menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi
totalnya 30 s.d. 45%. Dalam metode elektrolisis ini senyawa yang digunakan
adalah kalium hidroksida (KOH) dengan menggunakan sebuah alat yaitu tabung
electrolizer yang tersususn dari bahan mika (plastic), elektroda 10 buah dimana
terbuat dari bahan stainless, kabel dan power supply DC. Larutan KOH merupakan senyawa larutan kimia
dengan melarutkan KOH ke dalam air. reaksi kimia yang terjadi pada larutan
tersebut adalah sebaga berikut
2 KOH + 2 H2O K2 + 3 H2 + 2 O2
Reaks kimia tersebut menunjukan jika 2 bagian
KOH dilarutkan ke dalam 2 bagian air maka akan dihasilkan 1 bagian K2 yang
berupa padatan akan tetap bertahan di dalam larutan, sedangkan 3 bagian H2 dan 2 bagian O2 akan keluar
menguap ke udara. Gas hydrogen inilah yang kemudian ditampung dan dijadikan
bahan bakar alternative masa depan. Proses
elektrolisis dalam hal ini terjadi karena adanya kutub anoda dan katoda yang
saling berhadapan. Jika melihat susunan katoda dan anoda pada tabung
elektrolizer peneliti memperkirakan peluang terjadinya elektroliss sebanyak 13
buah kutub yang saling berhadapan dan disusun secara parallel, apabila tidak
disusun secara paralele peneliti memperkirakan terjadinya elektrolisis hanya
terjadi pada 5 buah kutub saja yang saling berhadapan. Karena menurut peneliti
semakin banyak kutub yang saling berhadapan antara katoda dan anaoda maka
semakin banyak gas yang dihasilkan. Konsentrasi larutan KOH yang semakin pekat
akan membuat besarnya hambatan listrik pada latrutan akan semakin kecil dan
akan mendekati nol. Besarnya arus sangat mempengaruhi proses terjadinya
elektrolisis. Semakin besra arus yang diberikan maka akan semakin cepat
menculnya gelembung – gelembung di permukaan elektroda. Ini berarti
produktifiotas gas hydrogen akan semakin cepat dan mudah. Terbukti dari data di
bawah ini.
Table 1. debit volume gas H2
Konsentrasi
larutan KOH
|
Arus DC
(Ampere)
|
Debit volume
H2 (ml)
|
5,33 %
|
4
|
47,226
|
5
|
59,268
|
|
6
|
76,128
|
|
4,57 %
|
4
|
43,992
|
5
|
54,516
|
|
6
|
71,076
|
|
4 %
|
4
|
41.412
|
5
|
50,826
|
|
6
|
63,42
|
|
3.55 %
|
4
|
39,336
|
5
|
46,974
|
|
6
|
58,584
|
|
3,2 %
|
4
|
37,302
|
5
|
44,49
|
|
6
|
53,928
|
Dari data table 1 produktifitas H2
diatas, menunjukan produktifitas H2 terdapat pada titik maksimum
produksi dan titik minimum produksi. Untuk titik produktifitas maksimum terjadi
pada saat konsentrasi larutan KOH 5,33% denga arus 6 A, sedangkan titik minimum
terjadi pada saat konsentrasi larutan 3,2% dengan arus 4 A.
3. Gas hydrogen dari gasifikasi massa
Gasifikasi adalah reaksi oksidasi biomassa
dengan jumlah oksigen terbatas dan hasilnya merupakan bahan bakar gas. Dalam
kondisi tertentu, jumlah oksigen dibatasi kurang dari 40% jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk pembakaran sempurna, dan hasil utamanya adalah CO dan H2,
pada gas hasil gasifikasi biomassa terdapat pula CO2, CH4,
dan senyawa lainnya. Proporsi relatif dari masing-masing komponen dalam syngas
tergantung pada kondisi operasi gasifikasi, yaitu temperatur, tekanan, jenis
biomassa, dll, dan di antara mereka, agen gasifikasi disebutkan dalam literatur
sebagai yang paling berpengaruh. Teknologi gasifikasi biomassa yang berbeda
termasuk yang menggunakan udara., uap atau campuran uap O2 merupakan
bahan paling utama dalam proses gasifikasi biomassa. Dalam proses gasifikasi
kandungan hidrogen dalam sintetis gas dapat mencapai nilai berkisar dari 35%
hingga 45% vol. Selanjutnya peningkatan kadar hidrogen dalam gas produk
diperlukan penyesuaian rasio H2/CO engan menggunkan proses reaksi Water Gas
Shift (WGS) yang memungkinkan konversi CO menjadi CO2 dan
H7 dalam uap dengan reaksi seperti di bawah :
CO + H2O → H2 + CO2
Penggunaan katalis WGS dilakukan pada suhu
ultra-tinggi yang dapat digabungkan dengan gasifikasi biomassa [atau penggunaan
reaktor membran untuk meningkatkan konversi CO tanpa menggunakan katalis. Pendekatan
teknologi dengan menggabungkan. keuntungannya. Salah satunya adalah menggunakan
WGS tahap kedua pada suhu yang lebih rendah. Hal ini karena pemisahan in-situ
dari salah satu produk (dalam hal ini H2) dengan membran akan
mengakibatkan hasil H2 yang tinggi pada suhu tinggi sehingga reaksi
WGS akan dilakukan dalam satu tahap yang beroperasi di rentang suhu katalis
yang dipilih. keuntungan lain adalah bahwa kelebihan uap tidak akan diperlukan
untuk mendukung konversi CO yang lebih tinggi meskipun masih mungkin diperlukan
untuk mencegah karbon dan/atau pembentukan metana.
Dalam penelitian ini peneliti menggnakan
katalis yang sudah dalam tahap aktif yaitu magnetit (Fe3O4), sehingga tidak
memerlukan langkah pra-reduksi. Penelitian ini menggunakan dilakukan dalam
reaktor mikro tubular SS dengan dasar tetap (ID panjang 9 mm x 220 mm) disimpan
di tanur listrik zona tunggal. Metode isotermal, yang mencakup isolasi kolom
untuk memberikan pemisahan lengkap dari komponen gas yang berbeda disiapkan
untuk menganalisis H2, CH4, CO2, N2
dan CO.
3.1
Pengukuran aktivitas dan prosedur percobaan
Setiap suhu kerja yang
dicapai dalam reaktor dengan menggunakan aliran N2 dan ketika
kondisi stasioner mampu mencapai instalasi yang siap untuk memulai pengujian. Komposisi
umpan (feed) ditentukan pada masing-masing tes yang melewati reaktor dan
menjalankan metode analisis untuk gas umpan kering. Kemudian, campuran gas
didorong melalui reaktor dan pompa dinyalakan untuk memberikan laju aliran yang
diinginkan. Sebagai hasil reaksi WGS, gas keluar menjadi lebih kaya hidrogen
dan karbon dioksida sedangkan karbon monoksida awal dikonsumsi.
3.2 Pengaruh
komposisi gas umpan
Aliran gas yang diberikan ke sistem WGS
biasanya berasal dari langkah proses sebelumnya dan terdiri dari senyawa yang
berbeda tergantung pada proses yang dipertimbangkan. Serangkaian tes pertama
dilakukan untuk mempelajari kesesuaian katalis untuk komposisi gas umpan
diharapkan pada inlet reaktor WGS di plant Varnamo. Komposisi khas dalam gasifikasi
biomassa terdiri dari campuran H2, CO, CO2, CH4 dan adanya masing-masing
relatif sangat tergantung pada kondisi operasi proses. Dalam penelitian ini
secara industri digunakan aliran hidrogen (kandungan hidrogen lebih tinggi dari
70% v/v) dan dengan kadar karbon monoksida lebih rendah daripada yang berasal
dari gasifikasi biomassa oksigen, di mana kandungan CO berkisar dari 40% sampai
60 % v/v dan kandungan H2 berkisar dari 35% hingga 45% v/v.
3.3
Pengukuran kadar hidrogen
Dimana suhu proses berada pada kisaran 250 °C
hingga 500 °C dan kecepatan ruang berkisar dari 2885 h-1 sampai 25.000 h-1.
Kecepatan ruang diperkirakan sebagai rasio laju aliran (basis basah) pada
kondisi standar untuk volume katalis.
Tabel 2. Pengukuran kadar gas hydrogen pada
gas keluar
Suhu (oC)
|
SV = 2885 h -1
|
SV = 10.000 h -1
|
SV = 25.000 h -1
|
300
|
48,81
|
42,65
|
39,97
|
350
|
54,66
|
51,17
|
41,85
|
380
|
55,46
|
55,31
|
|
410
|
|
57,22
|
|
425
|
55,05
|
|
48,19
|
440
|
|
57,6
|
|
470
|
57,50
|
|
49,43
|
500
|
|
|
50,07
|
Mengenai produksi hidrogen Tabel 2 merangkum
hasil yang diperoleh Kandungan H2 maksimum diukur dalam gas keluar yang
berkisar antara 50,1% v/v dan 57,6% v/v basis kering yang memberikan
peningkatan kandungan H2 dalam gas sebesar 10-17% v/v. volume gas hydrogen
terbesar maksimum terjadi pada suhu 440 0C dengan kecepatan ruang
10.000 h-1 sedangkan volume gas hydrogen minimum terjadi pada suhu 350 0C
dengan kecepatan ruang 25.000 h-1.
4. Kesimpulan
Dalam perbandingan metode sintesis hydrogen
dengan menggunakan proses elektrolisis dengan gasifikasi masa didapatkan
kesimpulan bahwa proses yang paling baik dalam pembuatan gas hydrogen apabila
dilihat dari jumlah gas hydrogen yang dihasilkan adalah pembuatan gas hydrogen
dengan menggunkan metode elektrolisis larutan KOH karena gas hydrogen yang
dihasilkan sekitar 76% sedangkan pada proses gasifikasi biomasa hanya 57,6% gas
hydrogen yang dihasilkan. Namun jika
dilihat pada elektrolisis air banyak energi yang hilang sebagai panas, sehingga
tidak dapat mengubah 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen. Pada
proses ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi kimia hidrogen
tanpa memperhitungkan kehilangan energi pada pembangkitan listrik adalah 50
s.d. 70%. Jika hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis air menggunakan
listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi totalnya 30 s.d.
45%. Sehingga metode gasifikasi masa lebih efisien digunakan.
Referensi
Anonim, 2009, “Energi Gelombang Laut: Selama Ada Ombak,
Energi Akan Didapat,” http://www.esdm.go.id/news-archives/
56-artikel/2585-energi-gelombang-laut-,
21 0ktober 2013
Anonim, 2009e, “Electrolysis of Water,” http://en.wikipedia.org/wiki/
electrolysis_ of_water, 21 oktober 2013
HIDROLISIS
ENZIMATIK DARI JERAMI PADI UNTUK PRODUKSI HIDROGEN MENGGUNAKAN SELULASE
CAMPURAN
Khilda Nurlaila 1112096000035
Mahasiswi Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412
Abstract
The objective of this work is to compare the effectiveness
of commercial enzyme with mixed crude enzyme from Trichoderma reesei and
Aspergillus niger. The work is divided into two steps, the first is cellulase
productions from rice and corn straw, and the second is enzymatic hydrolysis.
Two activity unit of cellulase from Trichoderma reesei and one unit of
cellulase from A. niger were mixed. Enzymes were prepared by solid
fermentation. Five grams of 100 mesh rice straw were mixed with 25 mL nutrient
solution containing (all in g/L except CMC) 1,4 (NH4)2SO4,
2 KH2PO4, 0,005 FeSO4, 0,5 ekstrak ragi, 1,5 pepton
and 5 mL 1% CMC solution. T. reesei dan A. niger were inoculated and then
iccubated for 4, 6 and 8 days. Before hydrolized, the rice straw is grinded and
sieved to 80 – 100 and 120 – 140 mesh then heated at 85 oC with 2%
sodium hydroxide for six hours. Hydrolyses was conducted in 300 mL beaker glass
equipped by mechanical stirrer. Samples were analyzed by dinitrocalycilic acid
and measured by spectrophotometer.
According to the study of enzyme production,
it can be concluded that cellulases enzyme activity of rice straw is higher
than corn straw, either using T. reesei strain or A. niger. The quality of T.
reesei cellulase of rice straw is as good as A. niger cellulase of straw. After
being incubated for four days with rice straw substrate, T. reesei gives higher
enzyme productivity than A. niger.
Based on the study of hydrolysis, it can be
concluded that the higher the enzyme ratio to substrate was, the higher the
glucose concentration obtained, but enzyme eficiency become smaller. Enzyme
from T. reesesi dan A. niger that produced from mixture of Trichoderma reesei
and Aspergillus niger with a ratio of 2 : 1 (unit/unit) was more effective to
hydrolyze rice straw than using cellulose enzyme of Aspergillus niger from
Fluka Biochemika production.
Keywords: cellulase, Trichoderma reesei, Aspergillus
niger, rice straw, mixed enzymes, hydrolysis
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas enzim komersial
dengan enzim kasar campuran dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger.
Karya ini dibagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah selulase produksi dari
beras dan jerami jagung, dan yang kedua adalah hidrolisis enzimatik. Dua Unit
aktivitas enzim selulase dari Trichoderma reesei dan satu unit selulase dari A.
niger dicampur. Enzim disiapkan oleh fermentasi padat. Lima gram 100 mesh
jerami padi dicampur dengan 25 mL larutan nutrisi mengandung (semua dalam g / L
kecuali CMC) 1,4 (NH4)2SO4 , 2 KH2PO4
, 0,005 FeSO4 , 0,5 Ekstrak ragi , 1,5 pepton dan 5 mL larutan CMC 1
% . T. reesei Dan A. niger diinokulasi dan kemudian iccubated untuk 4, 6 dan 8
hari. Sebelum hydrolized, jerami padi yang digiling dan disaring untuk 80-100
dan 120-140 jala kemudian dipanaskan pada 85 oC dengan 2 % Natrium
hidroksida selama enam jam. Hidrolisis dilakukan dalam 300 mL beaker glass
dilengkapi dengan pengaduk mekanis. Sampel dianalisis dengan asam
dinitrocalycilic dan diukur dengan spektrofotometer.
Menurut penelitian produksi enzim, dapat
disimpulkan bahwa aktivitas enzim selulase dari jerami padi lebih tinggi dari
jerami jagung, baik menggunakan T. reesei regangan atau A. niger. Kualitas T.
reesei selulase dari jerami padi sebaik selulase A. niger dari jerami. Setelah
diinkubasi selama empat hari dengan substrat jerami padi, T. reesei memberikan
produktivitas enzim yang lebih tinggi dari A. niger.
Berdasarkan studi hidrolisis, dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi rasio enzim untuk substrat adalah, semakin
tinggi konsentrasi glukosa yang diperoleh, tapi enzim efisiensi menjadi lebih
kecil. Enzim dari T. reesesi Dan A. niger yang dihasilkan dari campuran
Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan perbandingan 2: 1 (unit / unit)
lebih efektif untuk menghidrolisis jerami padi daripada menggunakan enzim
selulosa Aspergillus niger dari Fluka produksi Biochemika.
Kata kunci: selulase , Trichoderma reesei , Aspergillus
niger , jerami padi, enzim campuran, hidrolisis.
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi untuk menunjang kehidupan manusia
meningkat terus secara eksponensial (Antonopoulou dkk., 2007), sementara persediaan
bahan bakar fosil yang sampai saat ini merupakan sumber utama energi semakin
menurun. Penggunaan bahan bakar fosil juga telah menurunkan kualitas
lingkungan, oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif, salah
satunya yang potensial adalah biohidrogen karena kandungan energinya tinggi,
hampir tiga kali gasolin (Bossel, 2003). Pembakaran hidrogen juga hanya menghasilkan
uap air sehingga hidrogen merupakan sumber energi yang ramah lingkungan (Ogino
dkk., 2005). Hidrogen dapat diproduksi melalui sintesa kimia maupun secara
biologis. Produksi hidrogen secara biologismemiliki kelebihan dibandingkan
dengan sintesa kimia, karena dapat
dilangsungkan pada suhu dan tekanan rendah sehingga lebih menguntungkan
ditinjau dari sisi penggunaan energi.
Biohidrogen dapat diproduksi dari glukosa dengan
perolehan berkisar 1,36 – 3,02 mol H2/mol glukosa (Pallazi dkk.,2000; Chin
dkk., 2003; Marimoto dkk., 2004; Ogino dkk., 2005; Kotay dkk., 2006; Zhang
dkk., 2006), dari sukrosa dengan perolehan 1,3 – 4,8 mol H2/mol sukrosa yang
setara 0,65 – 2,4 mol H2/mol glukosa (Sung dkk., 2002; Lin dan Lay, 2004; Ogino
dkk., 2005), dari pati ubi kayu dengan perolehan 1,1 – 1,5 mol H2/mol heksosa (Mahakhan
dkk., 2005; Lin dkk., 2008). Perolehan biohidrogen tertinggi dari glukosa murni
sekitar 75 % perolehan teoritis, akan tetapi masih belum fisibel secara
komersial karena harga bahan baku glukosa murni yang tinggi (Kapdan dan Kargi,
2006). Upaya meningkatkan fisibilitas ekonomi biohidrogen dimungkinkan dengan penggunaan
bahan baku limbah yang dapat dikonversi menjadi glukosa, baik limbah cair
(Reungsang dkk., 2004) maupun limbah padat (Raghavendra dkk., 2007). Salah satu
limbah di Indonesia yang ketersediaannya melimpah adalah jerami padi yaitu 180
juta ton/tahun (Sabiham dan Mulyanto, 2005).
Jerami padi adalah limbah yang mengandung 37,7% selulosa;
22,0% hemiselulosa; 16,6% lignin (Dewi, 2002). Selulosa dalam jerami padi dapat
dihidrolisis menghasilkan glukosa baik secara kimiawi (Xiang dkk., 2003), secara
enzimatis (Dewi, 2002; de Vrije dkk., 2002; Raghavendra dkk., 2007) maupun
fermentatif (Aderemi dkk., 2008). Hidrolisis enzimatik lebih menarik dari sisi
penggunaan energi, karena dapat dilangsungkan pada temperatur rendah (de Vrije
dkk., 2002) sedangkan hidrolisis kimiawi memerlukan temperatur tinggi (Xiang
dkk., 2003). Hidrolisis enzimatis juga dapat menghasilkan konsentrasi glukosa
yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis fermentatif (Aderimi dkk.,
2008), akan tetapi reaksi enzimatik memerlukan waktu yang lebih lama. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya untuk mempercepat reaksi diantaranya dengan
cara memperbesar rasio enzim dengan substrat.
Uraian di atas menunjukkan kemungkinkan memproduksi biohidrogen
dari jerami padi melalui dua tahap proses terpisah yaitu hidrolisis enzimatik
jerami padi menjadi glukosa yang dilanjutkan dengan fermentasi glukosa menjadi
hidrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai kondisi
operasi (temperatur, konsentrasi awal enzim, pH dan laju pengadukan) serta
membandingkan efektivitas enzim selulase yang dibuat pada penelitian ini dengan
selulase komersial.
2. Jerami Padi
Jerami padi terdiri 37,7% selulosa, 22,0% hemiselulosa
dan 16,6% lignin (Dewi, 2002) dengan kandungan nutrisi dalam basis kering 0,5 –
0,8% N; 0,16 – 0,27% P2O5; 1,4 – 2% K2O; 0,05 – 0,1% S dan 4 – 7% Si (Dobermann
dan Fairhurst, 2002). Selulosa berfungsi sebagai penguat pada batang tumbuhan,
lignin untuk melindungi selulosa dari aksi kimiawi maupun biologis sedangkan
hemiselulosa pengikat selulosa dengan lignin (Lee, 1992). Selulosa berupa
polimer glukosa linier hidrofilik yang dihubungkan oleh ikatan glikosida.
Banyaknya satuan glukosa dapat bervariasi antara 15 sampai lebih dari 10.000
per molekul selulosa. Polimer selulosa terdiri dari bagian kristalin dan amorf.
Bagian amorf mudah dihidrolisis sedangkan bagian kristalin tidak mudah
dihidrolisis baik secara kimiawi maupun enzimatik (Dahot dan Noomrio, 1996).
Hemiselulosa adalah gabungan dari polimer-polimer dengan rantai relatif lebih
pendek dan bercabang, yang terdiri dari monomer xylosa, arabinosa, glukosa,
manosa dan galaktosa, dengan struktur amorf (Bailey dan Ollis, 1986). Meskipun
dilindungi oleh lignin, jerami padi masih dapat dihidrolisis menjadi glukosa
oleh mikroorganisma selulotik seperti Trichoderma ressei (Muthuvelayudham
dan Viruthagiri, 2006) maupun Aspergillus niger (Aderemi dkk., 2008).
3. Hidrolisis Selulosa Secara Enzimatik
Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik
menggunakan enzim selulase (Vrije dkk., 2002; Raghavendra dkk., 2007) maupun
mikroorganisme penghasil selulase (Aderemi dkk., 2008). Hidrolisis selulosa
dipengaruhi oleh jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi,
sabut sawit) dan ukuran partikel. Jerami padi lebih sulit dihidrolisis
dibandingkan dengan serbuk gergaji maupun sabut sawit (Dewi, 2002). Raghavendra
dkk. (2007) melaporkan bahwa diantara jerami padi, jerami gandum dan bagas tebu,
yang paling mudah dihidrolisis adalah jerami gandum, diikuti bagas dan yang
paling sulit dihidrolisis adalah jerami padi. Kesulitan hidrolisis substrat
lignoselulosa karena adanya gangguan dari lignin yang menghambat kontak antara
selulase dengan selulosa (Raghavendra dkk., 2007). Kesulitan tersebut dapat
diperbaiki dengan cara melakukan pengolahan awal (Bak dkk., 2008; Vrije dkk.,
2002; Dahot dan Noomrio, 1996).
4.
Pengaruh Rasio Enzim-Jerami Padi
Lama waktu hidrolisis berbanding lurus dengan konsentrasi
gula. Semakin lama waktu hidrolisis maka semakin tinggi konsentrasi gula pada
setiap diameter partikel jerami. Waktu hidrolisis maksimal dilakukan selama
tujuh jam karena lebih dari itu terbentuk campuran yang sulit diendapkan
sehingga pengambilan sampel menjadi sulit pula.
5. Efisiensi Enzim
Efisiensi enzim yang dimakud di sini adalah jumlah
glukosa yang dihasilkan persatuan aktivitas enzim yang digunakan (Cg/E). Tabel
2 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa efisiensi enzim tertinggi dihasilkan pada
diameter partikel yang lebih kecil yaitu 120 – 140 mesh. Tabel 2 juga
menunjukkan bahwa pada percobaan ini, efisiensi enzim berbanding terbalik
dengan rasio enzim substrat. Makin besar rasio enzim substrat makin kecil
efisiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah enzim yang digunakan
tidak sebanding dengan jumlah glukosa yang dihasilkan. Efisiensi tertinggi
dihasilkan pada hidrolisis dengan diameter partikel 120 – 140 mesh dan rasio
aktivitas enzim 14 U/g jerami. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa laju produksi
glukosa pada pada rasio enzim substrat 28 U/g, kurang lebih dua kali laju
produksi glukosa pada 14 U/g. Hal ini berarti, jika kita menginginkan waktu
hidrolisis yang lebih singkat, dapat dilakukan dengan meningkatkan rasio enzim
substrat dengan diameter partikel 120 – 140 mesh.
6. Pengaruh pH
|
Glukosa yang dihasilkan ditujukan sebagai bahan baku
produksi biohidrogen yang diperkirakan berlangsung optimum pada pH 6. Oleh
karena itu hidrolisis yang paling baik menurut rencana penggunaan glukosanya
adalah pH 6. Akan tetapi pada pH 6, konsentrasi glukosa yang dihasilkan sangat
kecil, oleh karena itu dilakukan pengujian pengaruh pH di bawah 6. Tabel 4.5
menunjukkan bahwa penurunan pH dari 5,52 sampai 3,92 dapat mempersingkat waktu
hidrolisis dari 6 jam menjadi sekitar 3 jam karena laju pembentukan glukosa 3
jam pertama pada pH 3,92 lebih cepat dari pH 6 meskipun konsentrasi glukosa
akhirnya hampir sama, sedangkan pada pH 4,75 tidak jauh berbeda dengan pada pH
5,52.
|
KESIMPULAN
1. Makin besar rasio enzim terhadap substrat, makin besar konsentrasi glukosa
yang dihasilkan, tetapi efisiensi enzim menjadi lebih kecil. Peningkatan rasio
enzim substrat dari 14 U/g sampai 28U/g meningkatkan konsontrasi glukosa yang
dihasilkan selama 7 jam hidrolisis dari 1,748 g/L menjadi 3,222 g/L.
2. Ukuran partikel jerami 120 – 140 mesh cukup optimum untuk dipilih pada
hidrolisis jerami padi dan dapat meningkatkan konsentrasi glukosa sekitar 72%.
3. Penurunan pH dari 5,52 sampai 3,92 dapat menurunkan waktu hidrolisis
optimum dari 6 jam menjadi 3 jam.
4. Makin besar rasio enzim-substrat, efisiensi enzim makin kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1.
B.O. Aderemi, B.O. , E. Abu, B. K. Highina,
“The Kinetics of Glucose Production from Rice Straw by Aspergillus niger”,
African Journal of Biotechnology Vol. 7 (11), pp. 1745-1752, June 2008.
2.
G. Antonopoulou, I. Ntaikou, H.N. Gavala, I.V.
Skiadas, K.Angelopoulos, G. Lyberados, “Biohydrogen Production from Sweet Sorgum
Biomass Using Mixed Acidogenic Cultures and Pure Cultures of Ruminococcus
Albus”, Global NEST Journal, Vol 9, No 2, pp. 144-151, 2007.
3.
U. Bossel, U., “Well-to-Wheel Studies, Heating
Values, and the Energy Conservation Principle”, European Fuel Cell Forum, 2003.
4.
H.L. Chin, H.L., Z.S. Chen, C. P. Chou
“Fedbatch Operation Using Clostridium acetobutylicum Suspension Culture as
Biocatalyst for Enhancing Hydrogen” Production, Biotechnol. Prog., Vol. 19, 383
– 388, 2003.
5.
H. Dewi, “Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian
Secara Enzimatik, Akta Agrosia”, Vol. 5, No. 2, pp. 67 – 71, 2002.
6.
T. Juhasz, K. Kozma, Z. Szengyel, K. Reczey,
“Production of b-Glucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305
and Trichoderma reesei RUT C30”, Food Technol. Biotechnol. 41 (1), pp. 49–53,
2003.
7.
I.K. Kapdan, F. Kargi, “Bio-hydrogen
Production from Waste Materials”, Enzyme and Microbial Technology 38, 569–582,
2006.
8.
S.M. Kotay, D. Das, “Microbial hydrogen
production with Bacillus coagulans IIT-BT S1isolated from anaerobic
sewage sludge”, Bioresource Technology, Elsevier, 2006.
9.
P. Mahakhan, C. Chobvijuk, M. Ngmjarearnwong,
S. Trakulnalermsai, C. Bucke, J. Svasti, W. Kanlayakrit, L. Chitradon,
“Molecular Hydrogen Production by a Thermotolerant Rubrivivax gelatinosus using
Raw Cassava Starch as an Electron Donor”, Science Asia, Vol. 31, pp. 415 – 424,
2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar